Minggu, 17 Mei 2015

Semesta Ini Berlaku sebagai Konsumen

Renungan saya ini mendatangi saya ketika saya tengah duduk di jendela besar kamar saya, sumber inspirasi saya, beberapa minggu yang lalu ketika saya tengah menghibur diri karena nilai try out SBMPTN saya di bimbel jelek.

Sebuah filosofi terkadang memang menyeruak ke dalam sanubari ketika kita berada di tengah kekecewaan. Filosofi lahir dari rasa tidak mampu, ketakutan akan harapan yang terlalu rentan untuk dibuat, dan yang terutama, dari pembesaran hati. Begitu pun saya. 

Terkadang saya iri dengan golongan penghuni kehidupan yang bisa dengan seenaknya tidak berusaha dan hanya dengan faktor keberuntungan mendapatkan keberhasilan. Dan sedikit banyak, saya sama sekali tidak terhibur dengan ucapan hasil takkan pernah mengkhianati usaha. Buktinya, nilai try out saya jelek, padahal saya belajar sampai larut. Saya juga tidak mampu menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional dengan optimal, padahal saya rela tidur hanya dalam waktu maksimal empat jam setiap harinya. Ketika saya menolong orang, tidak membuat orang tersebut secara otomatis akan membalas dengan yang bukan tuba. Nah, sudah berapa kali hasil mengkhianati usaha saya? Semesta bukannya tidak pernah tidur? Bukannya Jagad Raya memasang mata dimana-mana?

Namun, saya ingat suatu perkataan yang dikatakan oleh entah Mama saya, atau Eyang. Beliau pernah berkata, "Ya udah, mbok ya ga usah dibesar-besarin gitu lho, Bi. Mungkin tahun ini lagi apes. Paling kamu dibales tahun depan."

Hati saya mulai menyusun sebuah mekanika.

Semesta memang tidak pernah tidur. Tapi mungkin fungsi Semesta di sini bukan sebagai aparatur yang memberikan retribusi terhadap apa yang sudah kita serahkan. Mungkin Semesta bekerja dengan sistem yang lebih rumit: mungkin seperti lembaga ekonomi. Yang takkan pernah saya pahami, karena saya tidak terlalu akrab dengan Ekonomi.


Saya pun menyederhanakannya: Semesta tidak baik pada kita tahun ini. Tapi bagaimana dengan periode lain?

Lalu saya berpikir. Semesta itu seperti konsumen, ya. Dan kita ini, manusia-manusia penantang nasib serta pembuat realita adalah seorang produsen. Produk apa yang kita hasilkan? Usaha. Pasar kita adalah Id, Ego, Superego kita, seperti kata Freud. Juga alam bawah sadar dan alam kesadaran, mereka juga jenis pasar yang lain. Yang jelas, ketika kita berproduksi, Semesta berebut melihat produk yang kita hasilkan. Lalu memutuskan untuk membeli.

Yang harus kita pikirkan, akankah Semesta membeli dengan tunai? Bukankah bila Semesta melihat keadaan keuangan mereka kemudian merasa belum mampu membalas kita dengan setimpal, ia akan berhutang?

Ini lah yang akhirnya sampai ke dalam permenungan saya. Bahwa pilihan akan pembalasan usaha kita hanya ada dua: saat ini atau nanti. Semesta bisa menjadi pembeli langsung, tetapi bisa juga sebagai debitur. Dan kalau hasil dari usaha saya belum saya dapatkan kali ini, mungkin saya akan lebih beruntung nanti. Yang jelas, Semesta pasti harus memberikan uang pada kita, kan. Ia pasti akan melunaskan hutang-hutangnya. Jadi apapun yang kita lakukan, pasti dibalas dengan setimpal.

Namun, tetap saja, kita sebagai produsen lebih menyukai pembelian secara tunai dibandingkan hutang. Tetap tawarkanlah produk-produk kita dengan lebih gencar dengan cara: promosi, yang saya analogikan dengan berdoa. Doanya seperti ini, "Tuhan, saya sudah melakukan ..., dan kalau boleh, saya ingin ..." kedua, dengan menjaga kualitas produk kita. Iringi dengan: berbuat positif terhadap orang, tetap rendah hati, dan selalu rela apabila orang lain mendapat keuntungan yang lebih. Setiap orang punya jalannya masing-masing.

Selebihnya, biarlah hukum pasar yang menentukan. Lagipula, saya juga pernah mikir, kalau Semesta tidak mengabulkan permintaan (alias memberikan uang tunai) kepada kita tahun ini, atau bahkan tidak memberikannya dengan wujud tunai, itu karena Semesta melihat sesuatu yang buruk-buruk merintangi jalan kita. (Misal, saya pengen banget mobil Land Rover, tapi gak kekabul2 karena kalo Tuhan ngasih land rover ke saya, saya bakal kena takdir yang apes: Saya ketabrak di Tol Padalarang KM 97. Oleh karena itu, Dia cuma kasih saya volkswagen yea itu sih maunya gue aja lul)


Jadi, setelah matahari sudah terbenam sepenuhnya, akhirnya saya kembali tersenyum. Dan kembali semangat. Saya belajar sembari menanti SNMPTN, dan ya, pembeli saya memutuskan untuk tidak berkredit tahun ini dan memberikan uang tunai yang bahkan saya sendiri takut untuk mengharapkannya :)) 

nb: btw, Semesta yang saya maksud di sini adalah Tuhan, ya.
 Tergantung Anda mau mengartikannya dengan filosofis/naturalis :p


Semangat untuk kita semua yang selalu berusaha dan kadang dikecewakan untuk menanti hasil. Ungkapan itu benar kok, Tuhan (atau Semesta, yang mana yang lebih mengenakkan hati untuk disebut) tidak pernah tidur, dan Ia adalah konsumen yang tepat janji. 



1 komentar:

  1. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
    Tulisan yang sangat bagus. :)
    ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

    BalasHapus