Senin, 13 Juni 2016

Lembah Karmel

ada kata yang harus menahbiskan makna,
tuturnya pada sebuah warna
ada tugas yang harus membaptiskan gegas,
bisiknya dalam sebuah cuaca
ada diri yang minta diisi,
perjalanan yang butuh dimakadamkan
pikiran yang terkais menjadi sebuah arkais
materi yang tetiba muntab menjadi musabab.


aku adalah seorang musafir,
yang ingin bekerja di ladang sendiri,
berdikari dalam sebuah harga diri,
bertualang dalam mencari teori esensi ideologi apapun yang bisa membangun diriku menembus batas memantapkan keraguan melegakan kesakitjiwaan meredakan kegelisahan aku tak tau apa yang terjadi pada diriku aku ingin menangis tapi aku lelah diamuk ritmis aku gila menghabiskan gejala dalam sebuah mala letih untuk menjadi mahapatih dan aku puruk dalam langkahku yang semakin tersaruk, OH, fluktuasi aksi reaksi, audi, vide, tace, si tus vivere, OH! --

wahai, bukalah mataku.

"bangkitlah, dan tenanglah."
(ia mendengar sebuah nada tabla, acta est fabula.)
"relakan, dan biarkan."
(ia mulai bermeditasi, ask receive believe.)
"apa yang ada di masa lalu, biarlah berlalu. apa yang ada di masa depan, itu lah yang kau perjuangkan, sesederhana itu, kau tak bisa berperang dalam medan di mana prajuritmu sudah tumbang, kau bisa membangun kuil di mana duel satu lawan satumu mengantar menuju kemenangan."

tak ada konotasi?
tak ada. tak ada juga diksi dan majas.
"apa yang kukatakan padamu mengakuisisi lebih dari puisi."


ada yang sederhana,
maka adakanlah ia tetap sederhana.
O sancta simplisitas --
-- pada akhirnya kita berdua yang kembali pada liminalitas.

(Lembah Karmel: sebuah tempat di mana orang-orang Kristiani mencari kesembuhan,
lewat retret, penyegaran rohani, konseling, doa-doa penyembuhan.
mereka ingin membagikan kasih Allah. )

Jakarta, 1:11
//dalam sebuah sunyat//

Tidak ada komentar:

Posting Komentar