Minggu, 14 Agustus 2022

Padang Bulan

Terang bulan, 

di empat penjuru. 

Sudut-sudut desa diseka gemintang,

dan purnama menyelipkan seberkas cahayanya


Desa tampak tidak tidur:

nyanyian burung walet yang artifisial menggema dari balik sarang seng,

dan dari hutan, serangga tampak tidak lekas terlelap juga, mereka berorkestra.

Takhayul mengatakan mereka ada yang melantunkan petaka, tapi Sayang, masa kau setuju begitu? petaka hanyalah produk budaya, bukan serangga biangnya, mereka hanya menginterpretasi semesta raya.

jikalau banjir, mereka mengeluarkan suara kepak yang berdesir. bila terdapat ancaman puting beliung, ada beberapa yang menggerung. aku lebih percaya ada spesies yang aktif bersuara di malam hari, berinteraksi dalam bahasa yang manusia tak sampai memahaminya ...

.

.

.

Sayang, pernahkah suatu malam kita berbicara soal hiruk-pikuk kota dan kita lari ke desa? 

Sekarang kita mengerti, dikotomi desa-kota tidak sesederhana itu. Masalah takkan selesai bila kita memijak lanskap yang lebih banyak hijau daripada kelabu. Kelabu pun banyak menggantikan hijau di desa-desa. Namun, Sayang, bisakah kita sekali waktu duduk bersama, di bawah padang bulan di sebuah desa, sama-sama merenung dan berbicara masa depan, membiarkan kantuk dibawa sejenak ke langit yang berpendar-pendar dan tak siap digantikan fajar?

(Tak ada padang bulan di kota-kota. Dan tak ada bulan di langit-langit kamar kita.)


salam sayang dan selamat tidur. 

Manuhing Raya, Kalimantan Tengah

11 Agustus 2022


Tidak ada komentar:

Posting Komentar