Selasa, 16 Agustus 2016

Bibirmu

"Seperti apa rasanya mengecupku?"
"Seperti mencium malam hari."

Lelaki itu terdiam. Perempuan itu juga. Kemudian.

"... seperti mencium malam yang gelap tak berbintang. Yang mendung dan kelam. Pada bibirmu aku merasakan kata-kata yang tertahankan, pikiran yang seringkali tak jadi kau utarakan, semesta yang enggan kau tunjukkan, karena engkau takut pengecupmu akan terenggut dan tidak memagut malam-mu lagi. Akhirnya kau menjadi kanvas hitam. Bibirmu menyimpan sejuta bintang-bintang yang tak terlihat dalam-dalam."

Tak ayal ia tercekat. Laki-laki itu diam seribu bahasa sebelum melanjutkan, lirih. "Lalu mengapa kau tetap mengecup bibirku ... di bagian bawah?"


Gadis itu tersenyum sedih menatap kekasihnya.

"Karena aku terlalu takut untuk menciummu di bibir atasmu. Aku akan merasakan Semesta yang luas dibebani di punggungku yang ringkih."



Dengan tetap di bawah, aku masih bisa merangkul khazanah hitam-mu yang diam-diam ringkih, karena apa jadinya jika seluruh manusia melakukan perjalanan ke luar angkasa, ke malam yang hitam, lalu merasa kecil, dibandingkan duduk di sini menatapmu, merasa sepadan? Paling tidak, aku bisa memeluk cakrawalamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar