Senin, 08 Agustus 2016

Re: Re: Jadilah Sebuah Rumah dan Hands, Time, and Letter

Hai, Arum. Telah aku dapati bahwa kamu telah membaca apa yang aku tuliskan dalam kata-kata pada surat Jadilah Sebuah Rumah-ku yang semu, mencoba mengaplikasikannya, lalu terjadi sebuah hasil ... dan menuliskan balasannya. Telah aku lihat seorang perempuan kuat yang mungkin ingin hatinya agak sedikit abai terhadap “cinta” – entah siapa itu atau apakah ia pantas untuk disebut dengan “cinta” itu – namun tetap menyayangi hingga akhirnya konsep afeksi itu membawa ia pada refleksi.

                Pertama-tama, Arum, maaf. Maaf karena aku tidak bisa menjadi cerminan suratku. Maaf karena aku harus menghancurkan konsepku sendiri. Aku merasakan apa yang kamu rasakan, pada akhirnya. Rumahku kini tengah kosong, kalau tidak porak-poranda – mungkin itu metafor yang tepat untuk melambangkan apa yang kurasakan sekarang. Kami berdua sama-sama sedang tidak berada di dalam rumah. Ia yang pertama pergi.

                Arum, aku tidak akan mengatakan bahwa suratku itu sepenuhnya salah. Aku tetap ingin memahami kehidupannya, ingin menjadi lebih tabah dengan kesibukannya, tetap ingin menjadi yang terbaik untuk dirinya, ingin memberikan dirinya kelonggaran. Percayalah juga, Arum, aku mencoba untuk membangun rumah dan menjadi rumah itu sendiri. Aku mencium keningnya sehabis aku marah karena aku tidak puas dengan perbuatannya, hanya agar ia merasa aku mencoba untuk memahami.  Tetapi ternyata, Arum, aku hanya memenjarakan diriku dengan konsep rumah itu sendiri, karena aku tidak pernah mengerti apa itu rumah, apa artinya diriku dan relasiku dengan rumah itu, apa arti dirinya dan rumahku, atau bahkan mempertimbangkan inginkah juga ia membuat rumah dengan proses kreatif-nya sendiri? Aku benar-benar tidak pernah bertanya, dan seenaknya saja melabeli apa yang aku pikirkan dengan sebuah simbol yang rigid. Namun aku juga bersyukur, kesalahanku mungkin tidak akan membawa aku pada refleksi sekarang ini. (Oh ya, makasih juga kamu telah menyadarkanku dalam re: -mu.)

               Aku mendapati diriku membuat tiga kesalahan besar, Arum. Yang pertama, karena aku membangun rumah ini untuk dirinya. Bukan diriku. Padahal aku pun tidak akan bisa menyelaraskan konsep rumah tersebut atas apa yang aku mau dan apa yang ia mau, karena kami tumbuh di rumah yang berbeda, dengan ekspektasi yang berbeda. Mungkin aku butuh rumah dengan estetika Belanda dan Indonesia kuno, sementara ia ingin rumah yang bergaya Persia. Dan ketika aku mencoba membangun rumah Persia, aku akan mendapati ia tak puas, karena aku membangunnya dengan tafsirku sendiri, sementara aku juga semakin terkungkung dengan kemarahanku karena aku tidak membuat rumah yang aku inginkan – dan ia pun juga tidak menyukainya. Jadi mengapa aku tidak membangun rumah untuk diriku sendiri dahulu? Lalu mungkin ia akan menemukan keindahan rumahku sendiri dan mau bertandang.

                Yang kedua. Seperti yang kukatakan padamu, aku terpenjara pada konsep rumahku sendiri. Bagiku rumah adalah tempat yang rigid, yang dibangun di atas sebuah lahan. Yang konkrit. Aku tidak memahami bahwa manusia telah membawa-bawa sebagian dari rumah mereka di hati mereka kemana pun mereka pergi, kepemilikan dan bentuk abstrak dari wujud rumah itu sendiri. Aku tidak pernah berpikir bahwa saat mereka pergi – saat lelaki kita pergi – sebenarnya mereka tidak akan pulang, bukan karena mereka tidak akan pernah kembali, tetapi bahkan dalam langkah pertama mereka, selalu ada rumah yang mereka bawa di hati mereka. Mereka selalu pulang, ke dalam rumah di diri. Api kecil dari pendiangan yang akan menuntun mereka kembali. Dan tetap merasakan kehangatan itu hingga mereka pergi jauh.

                Dan aku terlalu mengagung-agungkan mereka. Serta rumahku sendiri. Itu kesalahanku yang ketiga. Mungkin kamu sudah menyadari, Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa rumah juga dalam diri kita.

                Tentunya, orang yang bertandang ke rumah kita ini harus lah orang-orang yang sudah memiliki keinginan untuk sedenter, dan bukanlah seorang nomad. Dalam kasusmu, mungkin ia adalah nomad, Rum. Mungkin lelakimu itu seseorang yang bahkan masih mencoba membangun rumahnya dan ia pergi ke seluruh penjuru dunia mencari bahan-bahan material. Jadi aku harap kamu juga tidak menyerah mencari atau menunggu seseorang yang sudah memiliki rumah dan akan jatuh cinta pada rumahmu. Kamu itu sudah “lebih” dari dia, aku melihatmu telah menyelesaikan sebuah rumah (dan dia belum), meski kamu juga terus-terusan mencari ornamen dan bahan untuk menghias rumahmu.

                Jadi, aku lega aku sudah tau apa yang harus kulakukan, Arum. Kamu membuatku menyadarinya (bersama seorang sahabat yang menghiburku kemarin). Aku harus membuat rumah untuk diriku sendiri dahulu. Ia juga. Lalu, saat kami siap, kami bisa memutuskan akan pindah ke rumah yang mana (atau mempertahankan keduanya). Toh rumah bisa direnovasi, dan renovasi bisa melibatkan kedua arsitek – tetapi yang terpenting, kami telah mengetahui baik-baik rumah kami sendiri. Dan, yang terpenting lagi bukanlah menjadi sebuah rumah utuh tempat ia berpulang, tapi untuk menjadi rumah yang bagiannya bisa ia bawa-bawa dalam hatinya.

                Lalu, Arum. Tentang serpihmu yang Hands, Time, and Letter, aku mau berterima kasih. Aku akan mengingat kata-katamu yang ini—

                 “...The back of this hands has not been fully painted with the universe. It has been painted only with what these eyes has seen. It is not much, perhaps it is less than what you have seen. So with this letter come a plea: please paint this hands with experiences, heartbreaks, loss. I am not hoping and I am not asking for you to stay. I want you to travel, I want you to go. To come back with more sights I could not even direct my eyes at. To come back with stories that sings sweet songs to my ears. I want you to remember me as the hands who would let you go when you feel like it. I don’t want to be the hands that hold you back.

—seperti aku ingin berkata padanya. Tapi, Rum, aku akan berkata: kau boleh mencintai pasir. Serta belajar untuk merelakan mereka. Tapi aku akan mendoakanmu, agar suatu hari kerang-kerang putihlah yang akan menyelip dalam tanganmu dan bisa kau bawa pulang. Kau juga boleh mencintai ombak – karena ia akan selalu ada di sana. Tetapi aku sudah mempelajari bahwa laut adalah sebuah pelajaran tentang hal-hal yang tak abadi dan bergerak dalam suatu ritme. Aku, seperti dan tidak seperti Alchyon yang menunggu Keix untuk kembali dari samudera, ingin kembali ke rumah dan menyalakan pendiangan. Karena pada akhirnya, lelakiku bukanlah pasir. Atau kerang-kerang. Atau ombak. Atau bahkan samudera. Lelakiku tetaplah seorang manusia yang membutuhkan rumah. Demikian juga lelakimu – kuharap. Suatu saat nanti.

Jadi. Aku mungkin tidak akan pernah memahami sepenuhnya pikirannya seperti ia takkan pernah merasakan sepenuhnya perasaanku, karena kenyataannya memang seperti itu. Tapi bukan tanpa alasan orang yang sangat berbeda bisa saling jatuh cinta. Aku sangat berharap, mungkin kami bisa mempelajari, bahwa saling mencintai adalah berdamai pada dua perbedaan, dengan jemari yang masih saling mengikat dan diri yang saling menguatkan. Dengan kedamaian itu lah, aku rasa, dan yang sedang tengah kupelajari, aku hidup bersamanya selama-lamanya – dalam morfologi apapun. Dan percaya lah, Arum, aku sedang hidup untuk memupuk rasa cinta itu, mengembangkan diriku untuk diriku dan pada akhirnya untuk dirinnya. Terakhir, dalam penutup surat ini, aku telah melingkar kelingking pada Father’s Time, atau Waktu (dalam bahasaku) yang berjanji akan membuktikan semuanya.




Salam sayang,
Shabia.


P.S: Arum, kamu bukan satu-satunya subjek yang aku kirimi surat ini. Kamu pasti mengerti, dan tidak keberatan, kan? 

P.S.S: Aku sayang Arum!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar