Minggu, 23 Oktober 2016

Tentang Saya, Anak-Anak, Mau Jadi Guru, dan Sekolah Senja






“The soul is healed by being with children.” 

Mungkin kutipan di atas hanya segelintir kecil tentang makna anak-anak di hati saya. Saya sejak dulu suka dengan anak-anakbukan suka secara seksual, ya―akan tetapi lebih kepada saya suka berinteraksi dengan anak-anak dan juga melihat mereka saling berinteraksi dengan sesama anak-anak lainnya.


Saya anak semata wayang. Gak punya adik. Gak punya kakak. Padahal saya suka main. Mungkin ini lah salah satu hal kenapa saya merindukan sosok adik atau anak-anak yang bisa saya ajak main. Abah dan Mama saya, keduanya juga menyukai anak-anak. Pokoknya kalo ada bayi, kami mainin sama-sama! Hehehe gak deng, dari dulu Mama sama Abah udah menginternalisasikan bahwa anak-anak itu lucu, pokoknya.


Saya memang tidak punya adik bayi, tapi di umur saya yang ke-8 tahun, Tuhan memberikan saya seorang adik sepupu lucu, gembil, dan pintar bernama Attar! Rambutnya kriwil, badannya semok. Saya sering main sama adik laki-laki saya ini. Lalu menyusul kelahiran Maleeq, adiknya Attar. Kami juga makin sering main bareng. Dan terakhir, ada Hana, adik saya (sampe-sampe saya nyebutin mereka udah gak pakai sepupu lagi) yang jahilnya minta ampun, sekarang umurnya masih 5 tahun. Ketiga-tiganya punya tempat khusus di hati saya (hihi) walaupun mereka suka saya gangguin dan saya bentak-bentak sampai nangis :( tapi saya sayang mereka. Namun sayang sekali, sekarang Attar sama Maleeq sudah gede, makin gengsi mereka cuddling sama saya (plus, mereka juga udah pada sunat hihi).




Intinya, saya seneng deh main sama anak-anak! Setahun yang lalu habis UN saya, Tata, dan Prita, kedua teman perempuan saya main ke Pondok Si Boncel, dan saya senang sekali gendong-gendong anak yang lucu dan cakep-cakep. Sedih juga soalnya mereka tinggal sama suster-suster panti, bukan sama orangtuanya ... akhirnya saya main sama mereka seharian sampai pas pulang rasanya beraaaat banget. Lalu ketika saya ke Petungkriyono, saya juga melihat banyak anak kecil, ini sih karena saya gak bisa Bahasa Jawa aja saya jadi kurang dekat sama mereka. Tapi saya tetep seneng ngobrol-ngobrol sama mereka. Dan yang terakhir, di tempat makan sehat langganan saya, Letusee, selalu ada bayi kecil di belakang counter kasir. Biasanya sembari Mamanya nyatet pesanan saya, saya main sama si adik bayi yang ternyata belakangan saya ketahui berusia 5 bulan.


1. Keinginan Jadi Guru

Berbicara tentang anak-anak, saya pikir menjadi guru adalah salah satu impian saya yang masih relevan dengan kesukaan saya pada anak-anak. Saya tidak tahu mengapa dulu saya suka sekali ngajarin orang (terlepas dari saya orangnya emang sotoy dan suka menggurui LOL), tapi saya emang suka menjelaskan sesuatu ke orang lain, membimbing mereka,  membuat mereka mengerti, terutama ketika objek pengajaran saya adalah anak-anak dan dulu mantan juga hehe. 


Saya ingat pas TK, pas main guru-guruan, saya benar-benar niat bikin lembar soal, saya ambil kertas dan majalah Mombi dan Bojun (Bobo Junior) terus saya bikin tarik garis, cari kata, acak kalimat, dll sbgnya. Dan temen-temen saya seneng banget, meskipun mereka jadi bosan dan bilang mau main petak umpet saja. Tapi jawaban mereka penuh satu majalah, lalu mereka kumpulin ke saya dan saya kasih nilai (Yeay!) Pas saya SD kelas 2 atau 3 kalau gak salah, saya juga pernah bikin lomba mewarnai dan yang menang saya kasih hadiah tempat pensil pakai uang tabungan saya :""") jadi bakal-bakal ngajar sebagai guru udah saya dapat sejak kecil, tapi saya gak sadar aja.


Menginjak SMP, saya baru menemukan mimpi saya. Waktu itu saya ingat saya sedang menonton televisi, menyaksikan salah satu berita tentang daerah T3 (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) kemudian saya menyaksikan si pembawa berita mengatakan di daerah perbatasan, tenaga kerja pendidik masih sangat kurang. Edukasi dipandang sebelah mata, anak-anak disuruh kerja. Orang-orang di perbatasan yang tidak diperhatikan negara dan kurang disosialisasikan untuk lebih mencintai Indonesia dan menjaga hasil sumber daya alam, kerap menjual hasil sumber daya mereka ke Malaysia karena di sana lebih dihargai. Menonton itu, saya jadi sedih. Dan hati saya tiba-tiba saja tergerak untuk berbuat sesuatu dan saya langsung membayangkan diri saya ada di sana, mengajar untuk anak-anak di perbatasan, atau anak-anak di pedalaman hutan. Ini lah yang menyadarkan saya bahwa saya harus menjadi guru, atau jika tidak, saya ingin menjadi relawan dari suatu organisasi yang "Diturunkan" di daerah-daerah tersebut. Dahulu saya berpikiran mungkin UNICEF bisa membantu saya (maka dari itu saya sempat berpikiran untuk masuk HI biar kerja di PBB gampang #stereotyping), tapi ternyata setelah melihat Butet Manurung (yang lulusan Antropologi Unpad), saya sadar menjadi pengajar itu bisa melalui banyak jalur, kerja di NGO atau LSM, dan sebagainya. 


Justru hal yang paling utama adalah memahami bagaimana edukasi dan masyarakat yang ada di perbatasannya. OLEH SEBAB ITU, saya mengambil antropologi. Saya ambil kelas etnografi daerah-daerah yang pengen saya kunjungi. Saya ambil kajian konflik, kajian anak, agraria ... biar saya ngerti juga dinamika masyarakat yang  berpengaruh pada pendidikan anak di daerah tersebut. Dan saya juga baru menemukan, karena saya tidak mendalami edukasi sebagai jurusan kuliah saya, saya bisa mendapatkannya melalui keikutsertaan komunitas mengajar. Saya senang sekali di Jogja cukup banyak komunitas ngajar, dan saya berencana untuk melamar di Sekolah Gajahwong tahun depan.


Soalnya, tahun ini saya sedang sibuk dengan dua hal: kerja dan Sekolah Senja.


2. Sekolah Senja: Semoga Ini Awal!




Tepatnya sekitar September awal, saya dan anak-anak FIB Mengajar pergi ke Playen untuk menunaikan ibadah mengajar! Hehe, program yang diinisiasikan oleh Sosmas ini memang baru saja diluncurkan sekitar tanggal 3 September 2016 lalu. FIB Mengajar ini perdana dilakukan di Playen, Gunungkidul, sebuah desa yang mirip desa binaan FIB. Kami dulu pernah melakukan program Masyarakat Budaya yang ingin menghidupkan campursari di desa ini lagi. Alm. Manthous, seorang "master" campursari lahir dari Playen.


Program FIB Mengajar ini adalah program dwimingguan dan pesertanya adalah anak-anak kelas 3-6 03 Playen. Kami kebagian tempat di Balai Desa. Sekolah ini sudah diadakan  tiga kali dari total 8 pertemuan, saya sendiri baru ikut dua kali. Misi kami cukup sederhana, kami ingin mengajarkan hal-hal yang tidak diajarkan sekolah dan fun-learning. Kami sudah mengadakan kelas lingkungan hidup dan kelas budaya berkarya. Setiap kelas, ada tiga sesi yang temanya related dengan tema besar dari kelas yang diselenggarakan!


Sementara untuk sistem belajar, anak-anak dibagi dalam kelompok-kelompok yang berasal dari tiga angkatan, tujuannya biar membaur. Saya sendiri membimbing Kelompok Dewi Sinta bersama Berli, dan nametag kita Apel. Di pertemuan kedua, kami dan anak-anak menyusun nama untuk sekolah kami. Dan terbentuklah ide untuk menyebut mereka Laskar Senja; dan disebutlah nama sekolah ini Sekolah Senja; karena tiap kali kami pergi untuk mengajar, kami akan pulang senja hari dan kalau beruntung, sinar matahari di pematang ladang dan hutan di samping balai desa akan membias dengan indahnya. Hihi, sudah dapat anak-anak yang pintar-pintar walau begajulan, Gunungkidul yang asri juga membuat saya betah.


ni salah satu anak iseng nih

Tantangan tersendiri adalah menyusun kurikulum dan mengajar anak-anak dengan berbagai karakter. Di Sekolah Senja saya berlaku sebagai koordinator pengajar, menggantikan Mbak Fia. Tugas saya mengoordinasikan pengajar dan bekerja sama dengan koordinator kurikulum untuk membuat kurikulum pengajaran setiap harinya. Untunglah sistem per sesi itu ditanggungjawabi seorang PJ (Penanggung Jawab), jadi kami bagi-bagi tugas. Lebih sulit lagi me-maintain anak-anak yang notabene energinya besar sekali, masih sering bandel dan suka main sendiri kalau bosan, bahasanya Jawa kasar dan mereka sering mutung kalau tidak dikasih penganan manis. HHHH nyebelin, alhasil kami harus selalu membawa hadiah manis seperti biskuit atau permen untuk mereka. Selain kurikulum dan sifat anak-anak, jarak tempuh yang memakan waktu hampir 2,5 jam dan harus dilakukan pulang pergi jadi perjuangan kami sendiri. Sudah gitu kalau kami pulang, jalur Gunungkidul yang meliuk-liuk pasti akan penuh bus-bus besar yang mau pergi ke pantai atau motor-motor yang mau malmingan di daerah pesisir. Halamak, bikin ngeri deh, mereka!


saya, Risma, dan anak-anak tengah menonton video tentang manfaat pohon.
saya dan anak-anak Dewi Sinta. saya agak lupa mereka yang mana, tapi ada okta, putri, akbar, lalu HWA siapa lagi ya?!

Jihad, koordinator FIB Mengajar sedang menjelaskan pentingnya pohon.

"Ayo, kita tos, ya!"
saya dan pengajar lainnya, berusaha menggapai mimpi 

Semua proses di atas ini saya jalani dengan semangat walau terkadang patah arang dan gak fokus karena saya punya seabrek aktivitas lainnya. Tapi saya harus menjalani ini semua, karena saya yakin kalau saya memang pengen jadi guru, saya sudah harus merintis peran guru kecil-kecilan dengan serius. Saya pengen belajar lebih bersabar, tegas, dan menarik dalam menyampaikan materi.


Intinya, doakan saya bisa menggapai mimpi untuk buat sekolah sendiri bersama anak-anak dan saya bisa ikut program Indonesia Mengajar ketika saya lulus nanti, ya! Saya cita-cita pengen ke perbatasan Kalimantan, pedalaman Papua, atau Atambua. Semoga Semesta memang merencanakan untuk memenuhi rencana saya menjadi ibu guru, amin! 


#AMIN
++ saya akan nulis soal Sekolah Senja, tapi lagi kumpulin niat. Nantikan ya!











1 komentar:

  1. Kamu sepertinya bakal jadi guru yang asik dan menyenagkan,karna sepertinya hatimu sangat tulus dan penuh cinta

    BalasHapus