Rabu, 16 November 2016

jangan dibaca; ini buat saya.

begini saja rutinitasku:
bangun pagi dan melepas kantuk sembari menghapus sisa-sisa mimpi yang jarang sekali kuingat namun tetap kurasa aftertaste-nya, memaksa diri untuk mandi karena akhir-akhir ini Yogya dingin, kuliah, terkadang pergi dan pulang di kedai kopi tempat aku bekerja paruh-waktu, kemudian ngendon di kamar, menulis, mengetik, mendengarkan lagu, mengerjakan tugas, lalu tidur.


kadang enak saja begini, semuanya realistis, tak ada waktu untuk bermimpi. waktu mengalir dengan cepat dan aku produktif, tapi diam-diam aku jenuh dan kosong, hingga suatu saat; aku mendengar sebuah alarm yang sayup-sayup berbunyi, nadanya memeringatkan seperti dentang sebelum tsunami: hati-hati, sepi sedang menuju ke sini! lantas aku pun takut dan mulai introspeksi diri. kok mau-maunya sepi main ke sini, padahal aku tak mengharapkannya?


diam-diam wahyu datang, lamat-lamat aku tahu aku telah mematikan mimpiku. bodoh, ini karena seseorang pernah berkata padaku jangan berekspektasi terlalu tinggi, shabiatapi aku tolol karena mengikuti sarannya yang tolol, aku tidak hanya membunuh ekspektasiku tapi juga mimpi. untunglah masih ada mimpi-mimpi yang sakaratul maut dan masih bisa diselamatkan. sekarang mereka masih koma, tapi beberapa sudah mulai pulih, aku sedang mengontak rumah sakit sistem internal emosi seorang Shabia Nur Asla untuk menyembuhkan mereka. katanya, mereka akan berusaha yang terbaik.


pada akhirnya aku sadar, aku kurang menikmati dan menghargai hidup. kini tambah tiga rutinitasku: melamun, galau, dan memaksimalkan. aku dapati diriku dalam mode pesawat terbang kapanpun aku berada dalam kesendirian dalam pergerakanku: jalan kaki sendiri, lari pagi sendiri, bahkan naik motor sendiri. pernah satu ketika aku tak sadar nyetir malam-malam dan berujung di masjid kampus UGM padahal sudah jam 11 malam. aku tidak melulu melamunkan cinta (yang mana aku bersyukur), tapi sekarang topiknya lebih ngeri: diriku dan hidup.


tapi percayalah, dalam proses melamun itu, aku seperti merasakan orgasme. dalam pekikan nafsuku yang hening, aku menemukan refleksi-refleksi diri dan sebuah kedamaian, serta keinginan untuk merealisasikan sesuatu. ada yang berubah, memang: kini aku lebih sendu dan selalu sedikit lebih sedih. tapi dalam waktu yang sama, aku menemukan semangat. bukan semangat yang konstan, kadang ia masih gampang diredupkan, tapi, ya, ia sering hidup lagi, kok.


dan dalam galauku aku menemukan diriku yang dulu berkelindan pada sastra. aku mulai membeli buku puisi dan menulis banyak puisi lagi. aku mulai membaca blog-blog orang. aku mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil: kemarin ini aku main hujan, minum susu di balkon jemuran sambil melihat bulan, mencium bau-bau lapuk bukuku lagi, hal-hal aneh yang biasa aku lakukan sendirian, dulu, dulu, duluuuuu sekali. aku teringat aku ingin menyelami dunia spiritual dan seksual. aku menabung untuk beli Mahabharata dan Serat Centhini. aku kembali mendalami bebungaan.


dan yang terakhir, tentang memaksimalkan. dari seluruh rutinitasku, seringkali aku hanya mengerahkan 60 % dari usahaku untuk menikmati satu momen pada satu waktu. dan itu lah sebabnya aku sering kehilangan fenomena, bahkan manusia. aku tak ingin mengulangi kesalahan yang sama. maka aku mulai disiplin pada diriku sendiri. kesempatan datang, terjang!


maka jujur saja, walaupun aku belum cukup berani berkata bahwa hidupku bahagia, kujumpai akhir-akhir ini hidupku mulai berdinamika. kini aku telah memercayai ini: kadang sebuah perubahan akan memaknai pembelajaran, dan pada akhirnya semua akan indah. naif memang, tapi percayalah. indah memang ada.


membeli bunga mawar dan nyempil di lubang

satu buket (Awalnya) dinikmati sendiri

surga dunia sederhana:
rental buku dan dvd, peminjaman di bawah 2000.

ketika main hujan #1

ketika main hujan #2




1 komentar:

  1. Biaa, aku suka tulisan mu ini. Maaf ya aku baca padahal bertuliskan, jangan. Hahaha

    BalasHapus