Senin, 14 November 2016

Di Birai



Di birai pintu kita cuma punya waktu sekitar dua menit, sebelum sunyi hambar dan tumpah seperti susu basi.

Kau berbicara seolah-olah akhir tiada. Dan saban hari, Satre pernah berkata padaku bahwa akhir memang tak pernah ada. Kau ceritakan soal difabel yang mengkeret pada trotoar dimana fasilitas tak berpihak padanya. Dan kau ceritakan juga struktur pada tetes hujan, bahwa di dalamnya ada banyak air mata hewan, tumbuhan, manusia, bahkan Tuhan. Satu menit meriak, dan bahkan celotehmu belum mencapai refrain.

Hampir tiga puluh detik tersisa, sampai di kejauhan aku mulai mendengar ilalang dilibas purnama. Dan sebelum semuanya selesai, aku mengeluarkan setangkai lili putih, agak sedikit layu, namun bisa mengusir aura-aura kematian.


Tapi di birai di mana aku dan kau cuman punya dua menit, tak ada yang tersisa selain ketiadaan pintu, ketidaknyataan, sosokku, dan tanah merah. Lalu aku akan tahu bahwa masa penghabisan kita telah datang, sebab azan subuh telah berkumandang, menghapus sisa-sisa kabut makam pada dua menit di ujung hari itu.


ada hal-hal yang tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian
— Kereta Logawa, November 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar