Selasa, 06 September 2016

H-18

Jadi segini saja?

Hatiku menoleransi rasa rindu hanya 5 hari. Jiwaku marah hanya untuk 4 hari. Aku sudah tahu, sebenarnya. Aku tipikal manusia yang mudah memaafkan dan melupakan. Kemudian menganggap setiap hari baru adalah pengulangan dan kesempatan dari awal. Ajang untuk kembali berharap dan berimaji. Setiap hari ada matahari. Hangat bisa kembali dirasakan di hati.

 Tapi aku tak pernah merasa seingin ini untuk tidak menjadi diriku yang terlalu optimis, naif, dan banyak berharap. Aku tak pernah merasa seingin ini untuk mati rasa terhadap imajinasi-ku sendiri, karena kedua hal itu akan membawaku pada kesedihan tanpa ujung. Aku ingin sekali jadi pribadi yang tegas dan  pesimis kali ini. Karena semesta sedang tidak baik. Cinta sedang tidak terlalu laik. Hatiku bak gayung tak bersambut. Tercerabut.

Aku rasa sakit hati yang paling hakiki adalah saat kita dipaksa untuk berhenti mencintai padahal hati kita masih ingin. Saat kita dipaksa untuk tidak peduli padahal kita dapati diri kita masih peduli. Saat kita bersemangat untuk mengeksekusikan sebuah rencana namun tak ada sarana. Saat kewajiban untuk menyapa dan memeluk diubah menjadi sebuah larangan keras.

Saat kita ingin tulus. Tapi ketulusan akan berubah menjadi godam.

Tidak rela, itu pasti. Benci? Mungkin sedikit. Kesal? Kecewa? Marah? Ya, itu emosi yang paling kurasakan belakangan. Menyesal? Tidak. Ini pilihanku untuk jatuh cinta sebegitu dalamnya hingga sekarang aku tidak semangat mengerjakan apa-apa. Why do I blame myself of having a capacity to feel? And how can I have a regret for something that I consciously chose?

Tapi aku ingin cepat-cepat keluar dari lubang ini. Aku lelah. Aku sudah bosan tertidur dengan mata bengkak. Aku sudah bosan bangun dari mimpi-mimpi indahku dan melihat kenyataan lah yang sekarang menjadi mimpi buruk. Aku bosan menangis sampai subuh.

Aku akan membiarkan diriku merasakan api-api itu selagi api itu masih ada di sana. Suatu hari ia akan padam. Atau mengecil tapi tetap di sana, karena aku yakin ia adalah api abadi. Mungkin ini lah yang namanya harapan. Tapi aku akan belajar untuk hanya melihat api itu tanpa ada niat mengipasi. Aku akan belajar merelakan.

Merelakanmu adalah pelajaran terberat yang sedang kuhadapi sekarang.

Melemahkan rasa sayangku padamu? Itu juga jauh lebih berat.

Tapi tak ada yang berlangsung selamanya. Demikian pula kita. Yang penting, pada akhirnya aku tetap menunaikan kewajibanku. Aku lah yang tetap bertahan sampai akhir.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar