Minggu, 04 September 2016

Mama



Kalau kau tanya seperti apa ibuku, aku akan kebingungan menjawabnya. Seperti kau bingung menjelaskan Semesta. Seperti kau bingung menjelaskan Tuhanmu.

                Ibu, yang kupanggil Mama, adalah segalanya bagiku. Mungkin kami memang sering berdebat dan sesekali aku melawan serta abai terhadap dirinya. Kadang Mama juga mengatur-ngatur diriku. Terlalu ikut campur dalam penentuan keputusan sampai aku jadi orang yang labil begini. Tapi di atas semua itu, aku sangat sangat sangat menyayangi Mama.

                Aku tumbuh kebanyakan bersama Mama. Di umur 10 tahun, aku sudah belajar untuk menjadi pendengar dan pemberi saran untuk Mama. Kelas 6 SD, aku sudah belajar untuk berbagi sakit dengan Mama yang tengah menghadapi masalah keluarga. Aku mekar sebelum waktunya. Tapi aku tak pernah menyesal. Mama selalu ada di sampingku dan kami hampir selalu berjalan bersama. (Meskipun Mama selalu berjalan di depan untuk menamengi aku terlebih dahulu.)

                Aku sudah biasa melihat perjuangan Mama.

Di masa-masa SMP, masa-masa di mana hidup dan keluarga menjadi cobaan bagi kami berdua, Mama selalu mengantarku ke sekolah. Kemudian sering mengajakku jalan-jalan bersama teman-temannya. Mama tidak pernah absen mengambilkan rapotku. Ia selalu datang kapanpun aku tampil di muka publik, entah acara itu dibuka untuk umum atau bersifat privat (Mama akan menerobos).  Saat kutanya kenapa ia sebegitu jauh dalam berusaha mengantar-ngantarku atau melihat pertunjukanku, ia selalu berkata agar peran sebagai Ibu terlaksana. Ia ingin aku disupport oleh “satu orang yang tersisa”.

Kalau aku sakit, Mama memelukku. Aku sampai percaya bahwa kunci kesembuhan penyakit yang paling ampuh bukanlah minum obat paling tokcer, tapi dipeluk hingga pagi oleh orang yang bisa memberikan rasa sayang dan hangat kepada kita. Kalau aku sedih, Mama akan meluangkan waktunya kapan pun itu untukku.

Sejak lama, Mama lah pencari nafkah paling utama. Maka dalam proses pertumbuhanku, aku tak bisa seperti anak-anak lain yang mendapat sokongan finansial 100 %. Aku pernah hidup dalam kekurangan. Aku hanya pernah ikut les sekali, itu pun ketika SD saja. Aku jarang jalan-jalan ke luar kota dengan uang kami sendiri. Tapi Mama selalu berusaha untuk membuatku tercukupi secara primer dan sekunder. Kami bukan keluarga yang kekurangan duit. Ia memang sering membatasi pengeluaranku, tetapi aku tak pernah dilarang-larang untuk mendapatkan hak-ku makan dan belajar, malah kadang Mama membiarkan aku menggunakan uangku untuk memenuhi kebutuhan tersier.

Hatiku juga kurang lebih menduplikat pelajaran hati yang selama ini tanpa sadar diajarkan Mama. Aku sudah pernah melihat Ibuku jatuh cinta kepada lelaki lain namun pada akhirnya berusaha untuk tetap bersama keluarganya, berfokus kepada aku, dan mencintai Ayahku lagi. Aku sudah pernah melihat Mama tetap menyayangi orang yang sudah ia janji untuk menyayangi sehidup-semati, tahan dalam penyakitnya, meskipun kadang cintanya tak terbalas. Kalau ada orang yang bertanya siapakah orang yang paling berjuang untuk cinta dalam kehidupanku yang pernah kukenal, maka aku akan menjawab Mama. Mama berkali-kali mengingatkanku untuk tidak terlalu menjadi dia, orang yang menye dan begitu cinta sampai tidak bisa membedakan kapan harus meninggalkan orang. Tapi, aku takut aku juga sudah menginternalisasikan bagaimana cara Mama mencintai seseorang. Aku pernah merasakan di posisi Mama dengan seorang lelaki. Aku meresonansikan apa yang Mama katakan pada Abah saat lelaki itu menyakiti aku dengan kata-kata yang mirip dengan kata-kata yang Abah ucapkan ke Mama. Tapi kalau Mama bertahan dan tetap bersinar, kenapa tidak?

Aku sayang Mama.

Sebegitu sayangnya sampai suatu waktu aku sedih, hatiku sakit, aku akan membayangkan sebuah skenario Mamaku meninggal. Bukan karena aku mau. Tapi karena aku akan merasa sakit yang kurasakan saat ini tidak akan sesakit ditinggalkan Mama yang seperti Semesta bagiku. 

Mama adalah support system-ku yang paling utama. Satu hal yang selalu kuingat dari perkataan Mama, “Bi, jadilah orang baik yang punya hati. Orang dengan hati baik itu memang akan ngalamin cobaan yang lebih berat daripada orang yang hatinya biasa-biasa saja atau jahat. Kamu akan ngerasa lebih sakit hati dan ngerasa lebih sedih kalau disakiti. Tapi itu semua worth it. Kamu bisa bangkit. Kamu sakit sekarang, tapi nanti nggak akan sakit. Dan kamu akan tumbuh.”

Aku mengingat advice itu kapan pun aku merasa down.

Dengan quote itu, serta cinta kasih Mama, aku akan baik-baik saja. Aku menyayangi Mama. Tapi kalau rasa sayangku tidak akan pernah membalas cinta Mama yang tanpa pamrih, aku akan mencintai anakku nanti di masa depan seperti cinta Mama kepadaku.


Mama adalah pengajar yang tepat bagaimana cara untuk menjadi seorang ibu yang baik.


Bia sayang Mama, Ma. Terima kasih untuk pembicaraan kemarin pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar