Senin, 26 September 2016

Tentang Ultah yang Buruk dan Sebuah Pengukuhan: Gunung Andong, 1726 mdpl

Halo! Saya bikin cerita perjalanan lagi! Kali ini, saya akan menceritakan perjalanan saya mendaki gunung yang tak terlalu tinggi, setelah sekian lama saya belom pernah naik gunung lagi.
.
.
.

Sekitar dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 24 September, saya dan beberapa orang teman: Mas Aziz, Wisnu, dan Mas Lanang memulai pendakian ke Gunung Andong yang berdiri kukuh di Magelang. Andong rendah saja, tingginya 1726 mdpl, dan waktu tempuh ke atasnya nggak terlalu lama. Kurang lebih sekitar 1,5 - 2 jam lamanya.

Lucunya, motivasi naik gunung ini agak miris (dan di sisi lain puitis HA). Sejak dua tahun yang lalu, saya pengen banget ngerayain ultah saya di atas gunung, dan waktu itu pengennya Semeru. Tapi karena medan Semeru berat dan saya gak cukup kuat, akhirnya saya mikir: ya udah gunung apa aja juga boleh. Lalu muncul masalah lain. Saya punya firasat ultah ini akan jadi ultah terburuk saya. HEHEHE. Tidak ada keluarga (untuk pertama kalinya: tahun lalu saya bahkan sampe pulang ke Jakarta) karena kedua orangtua saya sedang sibuk, saya baru putus dari lelaki terakhir saya, dan teman-teman saya juga sibuk dengan urusannya masing-masing. Saya juga sedang galau (lol saya gak malu mengakuinya) dan dulu saya pernah membuka kegalauan ini dengan gunung, saya juga ingin mengakhiri dengan gunung. Jadi sejak seminggu sebelumnya saya minta ke Mas Aziz yang memang sudah menguasai gunung di Jateng buat nemenin saya. Gak sangka dia mau! Lalu menyusul anak-anak lainnya yang pengen ikut, yang ternyata motivasinya juga lagi galau. WGWG.



Hujan Deras, Ponco Hijau, Wisnu bengong.


Kami berangkat dari Jogja pukul 14.30-an yang sebenarnya sudah sangat telat karena hujan mengguyur Kota Jogja. Kami sempat kering di perbatasan Magelang-Jogja, lalu diguyur hujan yang kali ini diiringi angin sesampainya di daerah Kopeng. Alhasil celana kami kuyup semua, Voye (motor saya) juga becek :( kami sampai di Pos Gogik sekitar pukul 17.30-an, padahal awalnya kami gak berencana mendaki malam. Di sini kami mengurus tiket, istirahat dan mengeringkan diri, lalu minum teh dan makan bakso. Oh ya, Pos Gogik ini bisa dicapai melalui Kopeng kemudian ambil arah ke Dusun Ngablak. Pos Gogik ini merupakan jalur yang paling mudah dan cepat untuk menuju ke atas, tapi emang muaranya Puncak Alap-Alap, bukan Puncak Andong (ada dua puncak, paling tinggi Puncak Andong).

Peta Jalur di Base Camp Gogik

Siap-siap di Base Camp Gogik

KAMI MENDAKI MALAM, sudah gitu harus pakai ponco karena hujan gerimis. Bisa dibayangkan ribetnya kayak apa, apalagi saya. Sudah gitu ketika mendaki, tubuh saya yang memang butuh proses aklimatisasi lama (sekitar 1.5 jam tubuh saya baru bisa adaptasi sama tekanan dan suhu sekitar. Huft.) dan emang karena badan saya tuh lemah, saya pun sering meminta untuk istirahat setiap 15-30 menit sekali. Ketika kami istirahat, kami mendapat pemandangan Gunung Telomoyo yang gelap dan Merbabu nun jauh di sana. Kota Magelang dan Salatiga juga sayup-sayup terlihat. Sekadar mengingatkan, medan mendaki Andong tidak memiliki bonus (jalur datar) walaupun relatif pendek. Jadi, memang sedikit susah. Apalagi medannya tanah-rumput, jadi juga agak licin.


Pukul 21.00 kurang akhirnya kami sampai di bawah Puncak Alap-Alap dan memutuskan nge-camp di bawah puncak saja karena angin gunung cukup berbahaya: frame tenda bisa terbang dan kami bisa menggigil di atas. Kami berempat langsung mendirikan tenda, mengganti pakaian yang basah (bahkan kaos Wisnu bisa diperes ewww), naruh barang-barang, mengeluarkan amunisi memasak, lalu siap-siap makan malam. Hehehe asyik!


Kami baru bersiap untuk tidur pukul 23.00, dan saya sudah malas banget berpikir untuk membangunkan diri saya jam 00.00 karena apa yang harus dirayakan? Ditambah, kaki saya pegel. Ugh. BTW ini lucu banget, saya ngerasa canggung soalnya ini pertama kalinya saya ngedaki sama cowo semua. Tapi ternyata mereka santai-santai aja, malah antusias kalo saya bilang maaf kalo malem-malem saya reflek meluk karena ngira mereka guling :( tapi ternyata saya berhasil ga meluk siapa-siapa HAKHAKHAK.

Kagetnya, pukul 00.20, Emak Bapak saya nelpon saya, ngucapin ultah. Hehe, ternyata sinyal Telkomsel masih kuat sampe puncak, bro! Saya yang ngantuk ini ngangkat dan bilang makasih-makasih aja, lalu tepar lagi. Eh, jam 3.15an saya dibangunin Mas Aziz, ternyata dia bakarin saya roti bakar (ya iyalah) lengkap dengan meises dan lilin yang nyala, lalu ngucapin selamat ultah:"""") Mas Aziz memang kakak yang baik (kita sering dikira kembar kalau di Antro). Yey, saya tiup lilin deh di dalem tenda.

"Selamat ulang tahun, Dek."

Pagi-pagi, setelah saya tewas lagi sehabis dikasih kue, saya bangun karena suara ribut-ribut Mas Aziz yang sudah bangun karena lagi beresin alat-alat masak. Karena saya ngantuk, saya tidur lagi, ngantuk, tidur lagi, sampe Mas Aziz geli sendiri ngeliatnya. Soalnya saya agak sedih! Saya kan punya obsesi (bukan obsesi sih, apa ya ... semacam kecintaan) terhadap matahari terbit, dan ternyata walaupun siluet mentari pagi cukup keliatan di ufuk timur ... ia gak terlalu bersinar karena ada kabut di kaki cakrawala :( sedih deh. Untung pas mataharinya agak naik dan kabut menipis, baru terlihat deh bagusnya. 
Puncak Gunung Telomoyo, pas di samping tenda.

Matahari Pagi


Pemandangan Tenda Tetangga
dan hei, nun jauh di sana, ada Lawu!

dari dalam tenda, pada suatu pagi

PESTA MAKAN!:
Yam Goyeng x Sayur Sop x Nasi 


Setelah puas-puas ngeliat matahari terbit dan embun yang ngebuat rumput-rumput di sekitar tenda kami jadi romantis, Wisnu dan Mas Lanang yang gak lama menyusul kebangunan (?) kami, kami segera masak-masak. Saya bersikeras ngupas wortel, yang ternyata caranya salah. HAHAHAH malu, ya, ketauan deh jarang di dapur. Tapi untungnya sayur sop saya lumayan, lumayan hambar maksudnya. Kami pesta makan, lho. Siapa lagi coba yang naik gunung masak ayam goreng dan sayur sop  + sosis rebus? :>


Habis makan, saya dan Mas Aziz jalan ke arah puncak, kami pengen ke Puncak Alap-Alap, lalu ke Jembatan Setan, dan terakhir ke Puncak Andong. Seperti biasa, saya membawa jurnal saya yang selalu saya tulis sesuatu kalau naik gunung. Puncak bisa bawa inspirasi, soalnya.

Membuat jurnal di sini, melayangkan pandang ke Jembatan Setan dan Puncak Andong di seberang.


1726 mdpl

Kami cukup lama di puncak dan angin menderu-deru di Jembatan Setan, tapi pemandangannya bagus banget ... sampe di Puncak Andong, buset deh, rame! Kami sampai gak punya kesempatan foto di tugu 1726 mdpl. Ya udah deh, saya moto orang, terus turun lagi. Ternyata kabut tipis udah semakin turun. Semakin bergegaslah kami ke tenda.

Cie beberes nih ye

Pukul 11.00, kami mengepak barang-barang kami untuk turun, melipat tenda, dan bersiap-siap memulai perjalanan kembali. Nih yang paling saya gak suka. Sejujurnya saya lebih menguasai teknik mendaki daripada teknik turun gunung. SAYA KEPLESET TERUS :""""( pantat sama paha saya sampe gemetar. Karena Andong bermedan tanah dan batu-batu, makin stress lah saya! Ada satu part di mana saya akhirnya putus asa terus meluncur pake sepatu, alhasil kaki ke bawah penuh tanah coklat. Huft (sampe sekarang kaki saya juga masih pegel banget haaaaa).

kakak ajij

Anthropos Terjang Hujan! HEHEHEHE

TUH MEDANNYA. lalu mas lanang ngetawain saya mulu tiap denger suara "syuut" di belakang: maksudnya saya kepeleset.


Dan pukul 12.35-an setelah gerimis di kawasan hutan, AKHIRNYA SAMPE BASECAMP GOGIK LAGIII... saya langsung ngegelesor minum teh manis hangat, merasa senang sekaligus kesel. Kaki saya sengklek....


Pukul 13.10, akhirnya kami bersiap-siap untuk pulang. Naasnya, baru keluar dari Kecamatan Ngablak, hujan angin lagi! Kami pergi dengan kuyup, pulang dengan kuyup. Tapi, pemandangan di kiri kanan sangat indah (walau diselingi rintik) karena kami lewat Ketep Pass dan persawahan warga. Kami sampai di kosan saya pada pukul 15.30, dan saya langsung tepar.


Pada akhirnya, apa? Andong, seperti Merbabu, membawa saya terhadap kesadaran yang pernah saya tulis di suatu post atau di satu surat dua tahun yang lalu. Gunung tidak pernah memberikan jawaban. Ia hanya mengukuhkan. Ia cuma memberikan pertanda kalau kita terlalu buta. Dan ya, turun gunung, hati saya masih kosong. Tapi ada yang baru di sana—pengukuhan. Saya sudah setinggi ini! Masa saya gak mempelajari sesuatu?

sendirian dan kedinginan, tapi toh merekah sempurna.
latar belakang: Gunung Merapi dan Merbabu.

Dan mengutip jurnal saya:
Awal bisa menjadi apa saja.
Dan, laut memang berisi hal-hal yang tak pasti. Debur ombak akan pergi dan kembali. Kau mau menunggu? Silakan. Tapi untuk saat ini, beralihlah ke gunung. Masih ada mimpi-mimpi yang patut diwujudkan. Masih ada puncak yang menunggu sebuah harapan untuk direalisasikan. Masih ada lereng yang membawamu dari titik terendah menuju titik tertinggi. 
Dengar ini:
Laut bisa menunggu.

Gadis 18 tahun :)


Selamat ulang tahun, Shabia, dan saya mengirim berkah Semesta untuk kalian semua! :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar