Jumat, 16 September 2016

Hidoop Sehat (Jilid Satu)

[Hidup Sehat – Part 1]

Hellooo, apakabar!

Sesuai janji, saya menulis post ini! Masih related sama 2 post sebelumnya, akhirnya saya memutuskan untuk nulis cerita perjalanan lagi, nih. Bukan cerita perjalanan sih, lebih kepada ke pengalaman seru mamam dan mimik akhir-akhir ini. Hoho!

Jadi, seperti yang sudah sempat saya omongin di post sebelumnya, saya lagi meniti hidup sehat. Mungkin ini telat dibandingin teman-teman saya yang sekarang udah jadi raw-vegan, vegetarian, makan makanan organik, diet sehat, dan lain-lain sebagainya, tapi at least saya gak cukup telat untuk mengubah sel-sel saya menjadi lebih baik lagi ke depannya lah ya!

Mungkin ada baiknya dulu saya ceritain kenapa saya banting setir dari seseorang yang nggak terlalu merhatiin makanannya dan menganggap makanan sehat itu mahal-mahal, jadi benar-benar niat untuk mengubah hidup saya. Tadinya saya benar-benar setiap hari mengonsumsi makanan-makanan yang banyak mengandung micin. Bahkan, saya tidak mewajibkan diri saya makan buah. Not even mesan jus dan selalu minum serta makan yang instan-instan.

Saya gak pernah sadar ada benjolan yang hidup di dekat kelenjar gondok saya. Sekitar bulan April lalu, saya memeriksakan benjolan itu dan mendapati itu adalah sejenis struma (tumor). Sebenarnya diagnosa awal itu cuman tumor jinak (tadinya). Jadi saya dikasihtau dokter bahwa benjolan itu bukan benjolan biasa, tapi mengindikasikan tumor yang bertumbuh. Nah, maka dari itu saya diboyong ke Jakarta buat diperiksa lebih lanjut. Singkat cerita, kelenjar gondok saya harus dioperasi dan diambil untuk diperiksa. Dan Alhamdulillah banget keputusan “ngambil” itu tepat, karena ternyata tumor itu jenisnya uncertain malignant atau ngarah ke ganas. Kalau gak diambil, akan lebih meluas. Dan sekarang ia telah sirna diambil oleh dokter Em-Em-Si yang sangat tokcer.

Tapi oleh sebab tumor itu disebabkan oleh pola makan, gaya hidup tidak sehat (alkohol, ngerokok, tidur malam), dan genetik, maka saya harus ubah hidup saya. Saya gak boleh tidur malam (makanya sekarang saya jarang tidur lewat dari jam 12 malam – yang mana masih gak sehat) dan makanan saya harus diubah. Saya emang ga sering-sering “minum” juga nggak pernah ngerokok, jadi dua hal itu gak berubah juga, sih. Tapi pola makan sehari-hari saya masih jelek sekali.

Nah! Maka dimulailah healthy journey saya ini. Saya pertama-tama tau Letusee YK, lalu Bumi Langit yang dulu udah sering saya denger, terus Warung Kita, dilanjut Alterjiwo, Kebun Roti, dan Mimpi Lama Sekali (Milas). Sebenarnya masih banyak. Tapi baru itu yang saya catat di jurnal saya. Selain restoran, di Jogja sendiri cukup banyak pasar-pasar yang menjual makanan sehat, bahkan ajang para penjual organik mempromosikan “camilan” sehat mereka. Pasar-pasar itu antara lain Pasar Sagan (setiap Sabtu 2 minggu sekali terakhir minggu kemarin di Loka-Loka Bistro, IFI/LIP), Pasar Kamisan (setiap Kamis, di Pasar Maguwoharjo), dan Pasar Demangan (setiap Jumat, di Demangan dekat Pancake Factory). Dan, saya segera memotivasi diri saya untuk mengunjungi tempat-tempat sehat ini. Tetapi dalam kurun waktu dua bulan ini, baru tiga tempat yang berhasil saya kunjungi. Nah, jadi, ayo kita langsung masuk ke subbab-subbab:

  Letusee YK
     – spesialisasi daun selada yang hijau dan segar!

Saya pertama kali tau Letusee dari teman sehat saya, Rugun Sirait – yang waktu itu ngajak saya ke Pasar Sehat Sagan, tapi naasnya kami ga menemukan stand Letusee. Usut punya usut ternyata Letusee hari itu gak bisa jualan di PSS. Akhirnya, Rugun langsung memberikan ide cemerlang untuk mengunjungi tempat Letusee bersemayam—hitung-hitung biar kita gampang ke sana lagi buat mamam-mamam sehat.

Letusee -- suasananya enaaa


Dan beruntung banget kami decide kayak gitu, karena Letusee asik banget tempatnya. Berlokasi di Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Gejayan (belokan ke kanan atau ke Timur dari arah Jl. Colombo sehabis belokan Jembatan Merah), Letusee bertempat di semacam bangunan terbuka di tengah-tengah hutan buatan. Bangunan ini cozy banget, kebuka, pintunya itu kombinasi antara kayu dan kaca-kaca bening, lalu memiliki beberapa tempat duduk lesehan yang ada bantalannya. Di sisi kiri juga ada lapak jualan makanan dan bumbu sehat (ada produk Bumi Langit juga, loh), sementara di sebelah kanan, ada dapur terbuka beserta kasir. Oh ya, untuk tempat masak dan makannya Letusee ada di lantai 2, jadi jangan bingung ya teman-teman. Bangunannya asik banget – kalo kata saya – lantai duanya cocok buat belajar yoga, sementara lantai satunya – kalo kata Rugun – cocok untuk nyelenggarain gigs. HEHE.

Ternyata Letusee pun sudah berdiri cukup lama. Berawal dari tahun 2011, Letusee yang berdiri berkat Mbak Steffi dan Mbak Nuha yang memang meranjingi makanan sehat, iseng membuka kedai kecil-kecilan. Pada tahun berapa saya lupa, akhirnya Letusee membuka kedai sehatnya di daerah Mrican, Demangan, tepatnya di Amelia Hotel lalu pindah ke Pusat Studi Lingkungan Sanata Dharma Soropadan, Gejayan ini. Sampai sekarang, Letusee makin memvariasikan menunya dan akrab bagi telinga-telinga pecinta makanan sehat.




Sesuai namanya, Letusee ini berspesialisasi dalam menyajikan selada hijau segar (yang saking segarnya saya yang kurang demen selada bisa ngegadoin selada tersebut. Hehehe.). Tapi, Letusee juga mengombinasikan selada tersebut dengan makanan dan sayuran lainnya. Yang menarik nih, produk-produk makanan yang Letusee pakai memang bebas GMO dan MSG, serta berafiliasi dengan produk-produk organik dan sehat, seperti contohnya Mazaraat Artisan Cheese, Bumi Langit, dst.

Sedihnya, foto menu sudah kehapus, padahal saya mau upload ke sini. Range harganya gak terlalu mahal, kok, masih bisa affordable buat kantong mahasiswa. Waktu awal ke sini, saya pribadi pesan vegetarian sandwich, di saat Rugun pesan Cassava Nachos sementara Fatin pesan Classic Potato Salad. Mereka berdua mesan Teh Bunga Telang, sementara saya bawa botol air minum Chuggington sendiri.

Tentu saja kami bertukar makanan, dan setuju: makanannya enak banget! (objektif loh ini, kecuali kalo kamu pembenci sayuran stadium akut). Nachosnya Rugun, yang pakai keju mozzarela dan ternyata dari singkong (bukan kentang loh), serta ada kacang merah dan saos itu enak banget rasanya, menurut saya sih paling enak dari hidangan kami yang lain. Lalu sandwich saya sendiri rotinya enak banget, renyah dan gak mletot (hayo kosakata apa itu), banyak sayurnya tapi gak kerasa sayur yang bikin mahteh, dan UKURAN SEPADAN HARGA, bahkan melebihi. Kombinasi mayonaisnya juga gak berlebihan, daging yang diganti sama kedelai (karena makanan vegetarian, toh) tetap kerasa enak dan mengenyangkan. Saya juga sempat rasain teh bunga telangnya Rugun dan Fatin yang warnanya lucu, warna biru, dan kalau diteteskan jeruk nipis akan berubah warna jadi ... ungu! Hehehe, menarik ya.

makanan Rugun. Nachos. (direpost sama ig letusee loh hehehe #prestise)

Karena keranjingan, untuk kedua kalinya saya kembali ke Letusee, kali ini bersama teman saya yang Vegan, Benedikta Sekar (btw gadis ini penulis juga, silakan cek tulisan motivasionalnya di: Bene's. Ia pesan Veggie Burger yang enaknya ........ aslflsdnfpaef mengalahkan Nachos yang saya nikmatin sama Rugun dan Fatin. Rempahnya kerasa banget, dagingnya juga enak, padahal benar-benar olahan tumbuhan dan kacang-kacangan aja :)) Bene juga pesan kombutcha, minuman fermentasi yang seperti soda, dan rasanya juga gak kalah enak, apalagi kalau disesap pelan-pelan. Di kali kedua saya mengunjungi Letusee saya juga mendapat kesempatan buat ngobrol-ngobrol sama Mbak Nisa, yang cerita banyak soal Letusee sama kami. Mbak Nisa ramah banget loh, dan saya kaget dia juga lagi baca Dunia Sophie. Wekekek.


Makanan saya yang kedua:
Classic Potato Salad
& Minum: Teh Bunga Telang (yang belum dikimiakan)


Maemnya Bene.

berkas sinar mentari dari balkon


Singkatnya, Letusee menduduki peringkat kedai sehat yang paling suitable sama kantong dan pencernaan dan jarak tempuh saya, sih. Selain harganya yang sesuai kantong mahasiswa dan rasanya yang super-sepadan, serta jaraknya yang tidak terlalu jauh dari kosan saya, saya juga suka suasanannya. Alami dan jujur. Kalau senja teman-teman ke sini, teman-teman bisa ngeliat sinar matahari di antara rimbun pepohonan dan masuk lewat ventilasi gedung, terus kalau ada angin pohonnya gerak-gerak syahdu gitu. Juru masak yang pakai celemek, mas-mas yang jaga kasir yang hanya memakai pakaian rumah, dan kehadiran bayi yang selalu digendong mbak-mbak yang duduk di dekat kasir juga membuat saya merasa ini tempat homey banget, jujur dan kekeluargaan. Jangan sungkan ya kalau mau datang ke sini! :)

2.       Mimpi Lama Sekali
– yang memang membuat kita bermimpi

Saya. Suka. Banget. Konsep. Rumah makan. Milas. AAAAA!

OKE maaf pembukannya lebay. Tapi bener, lho.  Berlokasi di Jl. Prawirotaman IV 127 B, yogayakarta 55153, Milas tak hanya berupa restoran vegetarian yang menyajikan hidangan enak Indonesia dan barat yang bebas MSG, organik, dan ramah produk lokal saja, tetapi turut mengusung konsep toko cinderamata dan perpustakaan.

Pas masuk, teman-teman sudah akan disambut gerbang bambu dan parkiran yang bernuansa bambu juga. Konsep Milas memang seperti rumah makan, ada banyak gubug-gubug dan lesehan kayu tersebar di taman hijau, sesekali ditemani suara gemericik air kolam. Suasananya tenang dan artsy. Milas sudah biasa disambangi bule-bule yang memang banyak kita temukan di Prawiropark.

Hasil gambar untuk mimpi lama sekali milas jogja
Saya gak banyak moto, jadi saya ambil dari google ya.
copyright: baltyra.com

Saya ke sini sama Nida Irmanti, teman saya yang pernah menjadi vegan, tapi karena kecintaannya pada daging, ia jadi tobat kembali ke omnivorous diet, sama kayak saya. Tapi Nida masih hidup sehat, masih mengurangi makan-makan sembarangan (kalian harus coba spagetti Nida, ya, teman-teman, catat itu.). Ternyata Nida udah beberapa kali sebelumnya datang ke sini.

Memesan sup jagung dan jamur, sementara Nida memesan nasi kebuli, saya mencermati ada satu rak di dekat tempat duduk kami yang memajang majalah-majalah Bobo, Girls, Femina, pokoknya majalah-majalah yang udah jarang banget saya baca. Lalu, ada setumpuk kartu uno juga, dolanan anak-anak, papan catur, dan bahkan halma. Lalu tepat di samping kami ada toko-toko cinderamata yang lucu banget produk-produknya. Saya jadi penasaran. Milas ini konsep keseluruhannya kayak apa, sih?

Milas berdiri dari tahun 1997. Kepanjangannya adalah  "Mimpi Lama Sekali", dan cita-cita Milas sendiri adalah dunia yang lebih baik dengan memfokuskan diri pada pendidikan kesehatan, dan lingkungan (dikutip dari booklet Milas). Maka dari itu, seperti yang sudah saya bilang, selain restoran Milas juga menyelenggarakan Pasar Organik, Sanggar, Galeri Kerajinan, Perpustakaan, Pojok Organik, dan Playgroup. 

Intinya, kalau teman-teman suka creative space sambil makan sehat, datang lah ke Milas. Daftar lah jadi member perpustakaannya. Milas punya beberapa buku sastra dan filsafat yang bagus. Beberapa masih pakai Bahasa Jerman. Saya nemu buku Psikologi Imajinasinya Sartre dan sedang menimbang-nimbang untuk nabung buat maem serta daftar jadi member dan ke sana lagi. Hiks. Tapi, karena kekurangan Milas terletak pada harganya yang agak tidak ramah mahasiswa, nabung dulu ya gais, ingat NABUNG dulu atau tunggu keluarga Anda ke sini dan seret mereka ke Milas. Makanannya cukup worth it kok, walau variasi lauk dan rempahnya memang kurang beragam :D

(but still, it’s still worthy to be visited.)

3.       Bumi Langit Institute
    – Membumi dan melangit tanpa harus kelewat batas

HYAAA!!

HEHEHEHE.

Saya suka Bumi Langit. Tempat terakhir yang saya kunjungi kemarin adalah Bumi Langit, dapet kesempatan ke sana sama Nida Irmanti juga, peranakan Jawa yang suka dibilang Bali dan INTP (dia udah baca Imagined Society sama buku-bukunya Zizek dari SMA..... terserah.). Saya juga disambut sama Mbak Fatimah Meydina, kenalanku dari acara Do Something Indonesia: Campaign Day Out yang pernah kerja di Bumi Langit.

Ena yaaaa

Ena yaaaa (2)
Butuh sedikit perjuangan untuk mencapai Bumi Langit. Karena berlokasi di Imogiri, tepatnya di (cari alamatnya), maka saya dan Nida harus muter di Ringroad sampai ke Terminal Giwangan, ambil Jalan Imogiri Timur, lurus terus ke arah Makam Raja-Raja Imogiri (sampai ada jalan rusak kita hindarin dan kita malah nemu jalanan sawah tempat syuting-syuting film jadul Indo HAKHAKHAK). Lalu setelah nemu Makam Raja-Raja, ambil jalan ke arah Kebun Buah Mangunan, nemu Bukit Bego (iya namanya Bukit Bego, suka dipakai buat pacaran (APA ITU PACARAN HAH? *masih sensitif*)) lalu ada tanjakan. Di tanjakan ini, harap pelan-pelan dan perhatikan kiri ya, selain kiri itu jurang, nanti teman-teman juga akan nemuin plang sekecil menil bertuliskan: Bumi Langit. Dah tuh belok kiri yak! Nida sama saya sampe njot-njotan gara-gara ngatur gigi, soalnya tanjakannya parah bener, si.

Tapi worth it banget! Pas masuk kami langsung disambut dua pencabangan, satu nanjak ke arah Joglo yang di depannya ada plang “Warung Bumi”, dan satu nurun ke bawah ke jalan setapak yang ada rumah-rumah kecil kayak villa. Saya dan Nida mah langsung ke Warung Bumi.

Tempatnya enak. Kalau Letusee temanya di tengah hutan, Bumi Langit temanya di atas bukit. Lanskapnya langsung menatap Kota Jogja, meski tersaput awan. Karena tinggi di atas bukit, anginnya lebih semeriwing. Tempat makannya terbuka banget, meja-nya dari kayu, naik ke Joglo juga harus copot sepatu. Tidak bermaksud hiperbola, tapi kesan yang didapatkan duduk di Joglo ini kayak sedang makan di Bandung atau tempat-tempat di Puncak, deh. 

Ntu dapurnya

                                        
                                              Makanan saya yang walaupun sederhana, tapi enak.
 Saya dan Nida langsung memesan. Oh ya, range harganya, seperti Milas, memang juga mahal bagi kantong mahasiswa, jadi bawa 50 ribu ke sini udah mepet ya saudara-saudara (karena nanti kalian juga harus isi bensin, ingat itu.). Saya pesan Nasi Campur Vegetarian, sementara Nida pesan Ikan Patin Kuah Asam. Tadinya Nida mau pesan Kombutcha, tapi uangnya ga cukup. Sementara saya senantiasa setia dengan botol Chuggington saya yang merah dan biru. Hanya butuh sekitar 10 atau 15 menit menunggu hidangan kami. Baunya juga sedap loh, soalnya jendela dapurnya langsung ngarah ke area makan. Yeay!




        Karena Bumi Langit itu (deskripsiin Bumi Langit). Saya dan Nida sempat melihat-lihat produk Bumi Langit dan produk sehat serta lokal lainnya kayak Masker Kefir (ea yang diinget cuman itu karena saya jerawatan). Ada banyak produk menarik. Bumi Langit juga menjual produk-produk afiliasinya, loh, contohnya saya melihat deodoran alaminya Banyuripan.



        Balik lagi ke hidangan kami, ternyata makanannya enak banget! Nasi Campur Vegetarian saya yang terdiri dari terong balado, tumis labu, urap Bali, tempe, dan tahu memang terlihat sederhana. Namun, ketika saya ngegigit tempenya, rempahnya kerasa, gurihnya juga. Nasinya sendiri seperti merah, teksturnya nggak lembek tapi juga bukan keras. Gurih. Sayurannya juga enak banget, padahal semua makanan ini tidak mengandung MSG. hmm! Nida juga bilang, Ikan Patin yang ia makan juga tidak berasa amis sama sekali dan kuahnya enak, padahal biasanya ikan-ikan air tawar itu pasti amis (kalau kata Nida). Nah, di atas ini saya melampirkan menu Bumi Langit, mungkin teman-teman sudah tahu harus membawa berapa ribu kalau berkunjung ke sana.

Nida and her pussy, Imam Hambali. (lol that sounds wrong)

me asking y i exist in this universe gadenq


        Tidak hanya makan saja, Mbak Dina mengajak kami keliling Bumi Langit. Oh ya bagi teman-teman yang mau memutari tempat menarik ini, jangan lupa spare 10-15ribu untuk pengelolaan Bumi Langit yah! Karena tempatnya juga gak kalah asik sama Warung Bumi. Bumi Langit yang memang terkenal karena permakultur dan visinya sebagai sebuah sarana untuk menjadi khalifah dalam menjaga buminya, Bumi Langit ini hijau. Di mana-mana ada tanaman budidaya, tanaman buah, bunga, obat, juga ada peternakan dan pengolah biogas. Saya diajak ngeliat-ngeliat tanaman dan ternyata Mbak Dina tahu banyak soal tanaman serta fungsinya, ada bunga telang dan rosella yang bisa dijadiin teh, terus ada arbei yang sering diolah jadi selai arbei (saya nyicipin loh. Enaaaak.). Ada juga kandang sapi dan biogas, tempat budidaya eceng gondok, lalu ada Bunga Matahari! Aih senangnyaa.

      Karena webnya sendiri udah populer dan berisi banyak informasi, teman-teman bisa langsung kunjungin websitenya di Bumi Langit, karena di sana benar-benar dijelaskan visi, misi, dan spesialisasi Bumi Langit. Hehe, ternyata Bumi Langit berlandaskan ajaran-ajaran Islam, loh. Keren banget deh pokoknya.

Saya dan Nida, di depan plang Warung Bumi

saya dan Mbak Dina dan buah arbei!

Ini adalah jembatan menuju musholla kecil yang asik

bagian dalam musholla yang saya panjat ke lotengnya
lalu tiba-tiba muncul tawon

        Dan akhirnya, ketika beranjak sore dan kaki sudah mulai pegal-pegal, kami sama-sama setuju untuk pulang ke kota. Walaupun Bumi Langit jauh, teman-teman, menurut saya seru sekali sih, kalau teman-teman mau belajar dan mencicipi hidangan di sini. Saya sendiri masih berharap akan ke sini secepatnya untuk lebih serius mempelajari permakultur & nilai-nilai Islam dalam melihat lingkungan. Hohoho.

okei, sampai sini dulu yaaa!
Selamat berjumpa di Hidoop Sehat Jilid II. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar